Hampir 2 minggu hujan setelah kepulangan …
Hujan. Sudah dua hari ini hujan gerimis setiap sore sampai malam. Yata menyeduh secangkir kopi, lalu duduk di palung jendela. Sambil memandangi rintik hujan yang jatuh di pekarangan, pikirannya kembali ke suatu senja di San Fransisco.
Hatinya masih saja berdegup kencang mengingat satu nama. Nama yang ia dengar asing senja itu, di dalam City Lights Bookseller & Publisher di 261 Columbus Ave.
“Maaf” kata lelaki yang tak sengaja menubruknya dari belakang.
“Tidak apa.” Sahut Yata sambil memunguti buku yang berceceran di lantai.
“Kamu pecinta novel rupanya.” Kata lelaki itu. “Ah, aku Abdad.” Ia menjulurkan tangannya.
Yata menyambut tangan itu sambil ragu-ragu menyebutkan namanya sendiri.
“Senang berkenalan denganmu. Maaf, tadi aku tidak sengaja.”
Lelaki di depannya membuat Yata mematung. “Dia pasti orang Indonesia. Tapi, bahasa Inggrisnya sungguh seperti orang asli San Fransisco,” gadis itu membatin. “Senang juga berkenalan denganmu.”
Toko buku itu selalu lengang di hari Senin. Yata hampir bisa menebak pengunjung mana yang pasti membeli buku dan siapa yang hanya window shopping, melihat-lihat, membaca sinopsis di bagian belakang buku, numpang ngadem lalu beranjak pergi.
Namun melihat Abdad, Yata tak bisa menebak. Lelaki itu berkulit cerah, dengan sorot mata yang teduh. Ah, bukan, tidak hanya teduh, tetapi juga memabukkan. Yata terhempas dari lamunannya saat Abdad bertanya lagi.
“Hey, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.”
“Oh, aku tak hanya suka novel. Aku suka buku apa saja yang membuatku merasa semakin tahu jati diriku. By the way, aku kerja di sini. Ada buku yang sedang kamu cari?”
Yata menoleh ke ponselnya. Dering dari benda itu membawanya kembali ke masa sekarang. Ia ingin mengabaikan telepon dari siapapun. Ia ingin benar-benar menikmati kesendiriannya sebelum melakukan hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
Ia sedang menata hati, menata pikiran, menata hidupnya yang tiba-tiba berubah. Tidak pernah terbayang ia akan meninggalkan San Fransisco sebelum kuliahnya selesai. Kondisi pandemi yang mencengkeram bumi ini mengharuskannya pulang ke Indonesia dan melanjutkan kuliahnya secara online.
Ibunya yang meminta. Ayahnya memaksa. Kalau sudah orangtua yang merajuk, ia bisa apa. Kuliah jauh-jauh ke luar negeri pun karena beasiswa. Ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari uang tambahan dari City Lights Booksellers & Publishers. Jika tidak, mungkin ia bahkan tak bisa keluar untuk sekadar minum kopi dan makan kue.
Eyangnya wanti-wanti, hormati orangtuamu, biar panjang usiamu di bumi dan tak kurang suatu apapun. Iya. Eyang benar, meski itu harus merelakan mimpinya untuk lebih lama tinggal di San Fransisco.
Percakapan menjelang tengah malam
Sejak pulang ke Indonesia, Yata lebih senang mengurung diri di kamar. Seperti malam ini dan malam-malam sebelumnya. Kuliah online berjalan lancar, tetapi perasaannya masih tak tenang. “Berdoa.” Begitu kata ibu selalu. “Sejak pulang kamu lebih banyak melamun. Apapun yang kamu hadapi. Berdoa.”
Kalau sudah begitu, Yata lalu hanya tersenyum dan mengangguk, tak menyahut atau mencoba mencari bahan pembicaraan lainnya.
Telepon pintarnya berbunyi. Satu pesan dari Abdad. Pesan yang hampir seminggu ini ia tunggu-tunggu siang dan malam. Sejak ia mengirim pesan pada lelaki itu, seminggu lalu, baru malam ini Abdad merespons. Yata sudah cemas, kawatir, gelisah dan berpikiran yang tidak-tidak.
“Yata, maafkan. Baru hari ini aku bisa memberimu kabar. Kondisi di sini buruk. Banyak hal yang harus kulakukan. Apa kabarmu?” Begitu bunyi pesan itu.
Yata menarik napas panjang dan menghembuskannya sambil memejamkan mata. Ada simpul senyum dibibirnya. Dengan cepat jari-jarinya membalas pesan dari Abdad.
“Kenapa lama sekali? Kamu harus ke pedalaman untuk bekerja? Tak ada sinyal di sana? Bagaimana keadaanmu? Apa yang harus kulakukan? Nenekmu tinggal dimana? Siapa namanya?”
Abdad tersenyum membaca deretan pertanyaan dari gadis yang berada bermil-mil jauhnya dari dirinya. “Kangen?”
Di dalam ruangan dimana Yata berada, ribuan kupu-kupu seperti menggenapi jumlahnya di setiap sudut, kenanapun gadis itu memandang. Yata tak mampu menahan senyum di bibirnya. Sejak pertemuannya dengan Abdad senja itu di City Lights Booksellers & Publishers, mereka selalu bersama.
Abdad sering pergi ke pedalaman untuk membantu orang-orang di sana yang kekurangan pangan dan tidak mengenyam pendidikan. Lelaki itu bersama beberapa temannya sering melakukan itu. Yata selalu berpikir Abdad dan teman-temannya itu punya hati malaikat.
“Kami hanya melakukan bagian kami. Jika ada sesamamu yang membutuhkan bantuan, sementara kita bisa melakukan sesuatu, ya kenapa tidak? Iya kan? Begitu kata Abdad saat Yata bertanya alasan lelaki itu sampai rela menggalang dana, berlelah-lelah rutin mengunjungi dengan kocek sendiri demi menolong kehidupan orang lain supaya lebih baik.
“Kok tidak dibalas?” Jawaban chat Abdad membangungkan Yata dari lamunannya.
“Jadi bagaimana aku harus memulai? Siapa nama nenekmu? Dimana dia tinggal?” Yata sengaja tak menjawab pertanyaan Abdad.
“Besok aku kirim dana untuk perjalananmu. Bisakah aku minta tolong lebih lagi?”
“Jika ada yang bisa kita lakukan, ya kenapa tidak? Iya kan?”
Abdab tertawa membaca jawaban Yata yang meniru kalimatnya. “Begini, Yat. Nenekku tinggal seorang diri. Kabar terakhir saat aku meneleponnya, dia sedang sakit. Aku kawatir sekali. Bisakah kamu setiap hari merawatnya sampai dia sembuh?”
Yata mendengarkan hampir meneteskan air mata. Antara rindu dengan lelaki itu dan menyadari hati Abdad yang selalu peduli dengan siapa saja yang membutuhkan uluran tangan. “Tentu, Dad. Beri saja aku alamatnya.”
Pagi menuju Kali Code
“Kenapa naik sepeda?”
“Ke kalicode, Bu. Lebih gampang pakai sepeda.”
“Naik motor saja. Sedang sering turun hujan. Niatmu, menolong, nanti kamu malah sakit. Siapa yang akan bantu neneknya Abdad?”
Yata terdiam. Ibunya benar juga. Ia harus jaga kondisi untuk merawat Mbah Soma, neneknya Abdad.
Mengendarai motor menuju Kali Code, Yata sibuk dengan pikirannya. Belum pernah ia membantu orang dan langsung terjun sendiri seperti ini. Apalagi, Mbah Soma adalah orang yang belum pernah dia kenal.
Terdengar suara dalam hatinya yang seolah seperti nyata ia dengar dengan telinganya. “Jika bukan neneknya Abdad, apa kamu tetap akan menolongnya?”
Yata menarik napas panjang. “Tentu saja aku akan menolongnya. Hidup akan punya makna jika kita berguna bagi orang lain kan?” Gadis itu tersenyum sendiri. Ada rasa damai yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata.
Mbah Soma kurang setengah
Anak-anak kecil berlarian di bantaran. 2 anak terbirit-birit lari sambil menangis, pulang kerumahnya. Sementara yang tertinggal mencoba bertahan terus berlari sambil ganti meledek, meski tetap ada rasa takut. Mbah Soma mengejar-ngejar mereka sambil menjulur-julurkan lidahnya. Rambutnya yang sudah seluruhnya putih ia biarkan tergerai panjang.
Begitulah keseharian Mbah Soma. Senang menggoda anak-anak kecil. Makin senang dia jika anak-anak kecil itu sampai menangis sambil berlarian.
Penduduk Kali Code sudah maklum. Mereka menganggap Mbah Soma kurang setengah, alias kurang waras. Tak ada yang memedulikannya. Anak-anak seperti kena teror jika sedang bermain, lalu Mbah Soma lewat.
Tak ada yang tahu Mbah Soma sebenarnya menyukai anak-anak. Tingkahnya yang menakut-nakuti sebenarnya hanya karena ia ingin mengajak mereka bermain.
Hidup Mbah Soma selama ini ditopan oleh Abdad. Tak ada penduduk di sekitar Kali Code yang tahu Mbah Soma punya cucu yang kuliah dan bekerja di San Fransisco. Abdad mengirim uang dan kebutuhan neneknya lewat seorang teman.
Teman yang biasa mengirim dan membawa kebutuhan Mbah Soma keluar kota selama beberapa bulan. Kepada Yata lah Abdad minta tolong menggantikan.
Sudah seminggu ini perempuan tua terbaring lemah. Ia hanya bangun ketika perutnya sudah sangat lapar, mengambil sisa-sisa makanan yang ada dan kembali meringkuk. Tapi pagi ini, makanan yang ada tinggal mie instan. Ia tak punya daya untuk bangun dan memasak.
Ditengoknya gelas air putih yang kini kosong di meja dekat kasur. Ia haus. Tapi kepalanya terlalu pusing untuk sekadar bangkit dan mengambil air.
Yata bertemua Mbah Soma
Tidak sulit bagi Yata menemukan rumah Mbah Soma. Anak-anak kecil yang ia jumpai dibantaran berebut menjawab untuk menunjukkan rumah perempuan tua yang setiap hari membuat mereka ketakutan.
Ada yang bilang senang karena seminggu ini Mbah Soma tidak keluar rumah dan menakut-nakuti. Ada pula yang mengatakan tumben Mbah Soma tidak keliling kampung sambil membawa sapu panjang seperti nenek sihir.
Yata bergegas ke arah yang anak-anak itu tunjukkan. Di depan rumah yang sebagia besar terdiri dari kayu usang itu Yata mematung. Ia ragu hendak mengetuk pintu. Apalagi setelah mendengar cerita-cerita mengerikan dari anak-anak tadi tentang Mbah Soma.
Abdad tak pernah bercerita seperti apa neneknya itu. Tapi akhirnya ia memberanikan diri mengetuk pintu. “Permisi. Kulonuwun, Mbah….”
Beberapa kali Yata mengetuk, tapi tak ada jawaban. Gadis itu lantas duduk di kursi rotan dekat pintu sambil meng-scroll layar HP-nya. Ia mencari nama Abdad. Belum selesai gadis itu menulis pesan, terdengar seseorang batuk-batuk dari dalam rumah. Yata mendongak ke arah jendela.
Kaca jendela yang sangat kusam itu Yata usap dengan tisyu. Terlihatlah seorang nenek tua dengan rambut putih terurai yang terbaring memegangi dadanya. Mbah Soma masih terbatuk dan perempuan tua itu berusaha bangun.
Yata bangkit dari duduknya dan mendorong pelan pintu yang sejak tadi ia ketok. Yata meneteskan air mata melihat kondisi Mbah Soma. Perempuan tua itu terkejut melihat Yata, tetapi ada pancaran lega dikedua mata yang lelah itu.
“Kamu siapa?”
Yata tersenyum, “Saya Yata, Mbah. Teman Abdad.”
“Abdad? Abdad juga datang?”
“Belum Mbah. Mungkin kalau jadi tiga bulan lagi katanya. Kondisi sedang sulit. Simbah sakit apa?” Kata Yata sambil memegangi tangan keriput yang dingin milik perempuan tua di depannya.
Mbah Soma tersenyum. Pancaran lega di kedua matanya seolah menyiratkan kabar kepulangan cucunya yang baru saja ia dengar itu sudah membangkitkan semangatnya. “Simbah sering pusing akhir-akhir ini. Badan juga lemas sekali. Bisa ambilkan simbah minum, Nak?
Kita ke dokter ya, Mbah? Kata Yata setelah Mbah Soma meneguk segelas air putih sampai habis. “Yata bawa nasi rames buatan ibu. Makan ya, Mbah, Yata yang suapi.”
Senyum Mbah Soma mengembang, memperlihatkan deretan gigi yang sebagian sudah tanggal dan sebagian lagi berwarna kehitaman. “Ndak usah. Nenek sudah ndak pa pa. Setelah makan nasi rames ini, pasti nenek sudah baikan.”
Yata tersenyum melihat Mbah Soma mengunyah pelan suapan demi suapan sambil terus bercerita tentang Abdad, cucu kesayangannya juga hobinya bermain dengan anak-anak.
“Simbah ndak punya teman. Makanya kalo ada anak-anak, simbah senang. Tapi kok mereka malah lari.”
Yata tertawa. Andai saja anak-anak itu tahu Mbah Soma tidak mengerikan seperti yang ada dalam pikiran mereka.
Mbah Soma duduk lebih tegak sekarang. Tinggal 3 kali suapan saja, tapi katanya sudah kekenyangan. “Yata mandiin ya, Mbah? Biar segar.”
“Nanti sore saja. Simbah pengen tidur lagi.
“Kalau begitu tiap pagi dan sore Yata kemari ya, Mbah. Nanti sore mandinya nunggu Yata saja.” Kata yata sambi membantu Mbah Soma berbaring. Perempuan tua itu minta seluruh jendela rumahnya dibuka supaya ada angin yang masuk. Dia juga ingin mendengar suara rintik jika nanti hujan turun.
Yata pamitan setelah membuka jendela-jendela kayu yang engselnya sudah berkarat. Perlahan gadis itu menutup pintu, sekali lagi melihat Mbah Soma untuk memastikan perempuan tua itu sudah merasa nyaman.
Gentong aneh di sudut ruang
Yata menyapu rumah Mba Soma, sementara perempuan tua itu, tersenyum memandangi sambil menikmati nasi rames. Sudah hampir 1 bulan Yata setiap pagi dan sore mengunjungi Mbah Soma, membawakannya makan dan memandikannya.
Perempuan tua itu sudah tidak sebergas dulu, bisa mengejar anak-anak keliling kampung. Mbah Soma hanya bisa berjalan-jalan di dalam rumah, lalu duduk di dekat jendela, menikmati semilir angin dan suara hujan.
“Gentong ini selalu penuh tiap Yata datang, Mbah. Siapa yang mengisinya? Ada tetangga yang datang ya?”
“Ah, tidak ada. Tidak ada yang pernah masuk kemari selain kamu, Nak.”
“Tapi gentong ini selalu terisi penuh tiap Yata datang, Mbah. Mbah sendiri yang ambil air dari sumur di belakang sana?”
“Jangankan sampai belakang, menimba air, Nduk. Simbah jalan ke pintu saja rasanya sudah lemas. Kemarin simbah mencari cas henfon sampai keringat dingin. Ternyata di bawah selimut. Abdad bingung kalau simbah ndak angkat teleponnya.”
Yata mematung. Sambil memegang sapu ditangannya, gadis itu menyapu ruangan dengan matanya. Rumah yang ruang tamu, ruang makan dan ruang tidurnya jadi 1 itu tiba-tiba membuatnya merinding.
“Mbah, lalu siapa yang mengisi gentong?”
Yata menoleh ke Mbah Soma yang ternyata sudah berbaring. “Ah, wis to, ndak usah dipikirkan.”
Gadis itu membantin. Bagaimana mungkin tidak dipikirkan. Hanya dia yang masuk ke rumah ini. Gentong itu jelas berkurang isinya tiap kali ia gunakan untuk memandikan Mbah Soma.” Tapi besok jika ia kembali, gentong itu pasti sudah terisi penuh.
Hari yang hectic, hari yang mengejutkan
“Yat, hari ini ke 7 tempat. Yakin kamu kuat?”
“Bisa, Bu. Tenang saja. Tidak sampai keluar Jogja, Yata pasti bisa.”
“Tapi hati-hati, ini sudah mendung. Pakai mobil saja.”
“Iya, Bu.” Sahut Yata sambil merapikan kotak kue yang akan diantarnya ke 10 alamat hari ini.
“Yat.”
“Ya, Bu.” Gadis itu menoleh setelah kotak kue terakhir ia masukkan ke dalam mobil.
“Jangan melamun di jalan. Lebih baik sambil berdoa daripada melamun. Salam untuk Mbah Soma. Nasinya sudah kamu bawa kan?”
Yata menganggung sambil tersenyum, “Sudah, Bu. Berangkat ya.”
Joja macet di masa sulit sungguh aneh. Seharusnya orang-orang banyak di rumah. Yata hampir menggerutu, tetapi setelah menyadari dirinya pun berada di jalan dan bukannya di rumah, gadis itu diam.
Ia sudah gelisah. Ini sudah waktunya mengunjungi Mbah Soma. Perempuan tua itu pasti sudah menunggunya untuk mandi. Kemarin ia sengaja menyediakan makanan berlebih karena ia tahu tak akan bisa tepat waktu untuk sampai di tepian Kali Code.
Yata menghembuskan napas lega ketika mobilnya mendapat tempat parkir tak jauh dari Kali Code. Buru-buru gadis itu menuju rumah Mbah Soma. Senyumnya melebar ketika matanya menangkap bangunan yang dominan tediri dari kayu.
“Maaf, Mbah, Yata tu kena………” Gadis itu tak bisa melanjutkan kalimatnya sendiri. Ia mematung di ambang pintu melihat pemandangan di depannya.
Mbah Soma duduk tersenyum memandanginya bersama seorang lelaki di sampingnya. Abdad!
“Hai” sapa Abdad sambil menghampiri Yata.
“K-kamu, k-kapan datang?”
“Tadi pagi. Terima kasih ya sudah merawat nenekku dengan baik. Beliau banyak bercerita tadi. Kamu luar biasa.”
“Kemarilah, Nak.” Mbah Soma memberi isyarat pada Yata dan Abdad untuk duduk di depannya. Perempuan tua itu tampak bahagia. Sinar di matanya tak bisa ia sembunyikan.
“Gadis cantik ini masih tak percaya. Tuhan menyertai mereka yang mengasihi-NYA. Burung Pipit saja Tuhan peliharan, apalagi kita. Jangankan gentong air, Nak. Hati kita saja Tuhan pasti penuhi dengan kasih-Nya.”
“Simbah tahu, kamu masih penasaran dengan gentong air yang selali penuh itu kan? Simbah juga tidak tahu siapa yang mengisi. Simbah hanya yakin Tuhan memelhara kita.”
Yata dan Abdad tersenyum saling memandang. Keduanya mengangguk, tetapi kembali canggung ketika Mbah Soma meraih tangan mereka.
“Sudah kalian jangan jauh-jauh. Simbah senang kalau kalian bersama.” Perempuan tua itu terkekeh, sementara pipi Yata memerah.
Senja beranjak malam. Ketiganya menikmati kopi dan teh hangat ditemani rintik hujan Kota Jogja yang ngangeni. Dua hati kembali bertemu. Dari San Fransisco ke tepian Kali Code.