Kekuatan serta penghiburan – Belum ada sebulan Mama meninggalkan kami, berpulang ke hadirat-Nya. Baru hari ini aku berpikir, bahwa tak ada kata-kata penghiburan yang benar-benar bisa menghibur atau menenangkanku.
Semua ucapan ikut berbela sungkawa, kalimat-kalimat pesan duka cita, pelukan dan apapun yang ditujukan untuk menenangkan atau berempati pada keluarga kami tak ada yang menghiburku.
Semua kalimat dan ucapan itu tidak ada yang menghiburku. Tidak ada.
Itu cuma perasaanku, entah seperti apa perasaan Papa saat ini. Kehilangan seseorang yang puluhan tahun bersama, tentu tidak mudah. Akhir-akhir ini bahkan minta ditemani, belum bisa tidur sendirian di kamar.
Baru tadi pagi aku tersadar saat menuju ke kantor. Sama sekali tidak ada penghiburan bagiku. Tidak ada kata-kata menguatkan, yang bisa membuatku lebih kuat, apapun itu.
Tapi mereka yang datang untuk berduka sungguh aku menghargai mereka. Keterbatasan pemahanan mereka tentang kematian, tentu tak bisa kusalahkan. Aku pun baru sekitar 2 tahun ini mendapatkan pencerahan tentang itu.
Tanpa kusadari, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dan menjelaskan bagaimana Mama meninggal ternyata melelahkan. Tidak hanya fisik, tetapi juga hatiku.
Tidak berhenti sampai di situ. Adanya acara-acara yang mengikutinya, yang ternyata baru kupahami justru menyulitkan dan merepotkan kami sendiri itu, benar-benar tidak ada gunanya.
Maaf. Aku harus mengatakannya. Tak ada yang tahu bagaimana keadaan Mama di Hades (tempat perhentian itu), tetapi semoga beliau baik-baik saja, tenang dan bahagia.
Sementara kami yang masih bertubuh dan bernapas justru mengada-ada dengan acara-acara yang tak hanya menghambur-hamburkan uang, tetapi juga waktu dan energi kami.
Ujung-ujungnya kami sekeluarga besar sakit, karena kelelahan.
Sebenarnya, itu hanya soal adat kebiasaan, dan, adat kebiasaan tak harus diikuti jika ternyata justru bikin ribet plus menyulitkan. Itu menurutku.
Namun itu sulit. Benar-benar sulit mengubah kebiasaan atau adat, apalagi itu sudah dilakukan massa bertahun-tahun. Tidak melakukannya akan dianggap keliru, mungkin malah sesat. Celaka betul kita hidup!
Tapi kenapa tak dilogika saja, bukankah uang untuk acara-acara itu bisa untuk membantu mereka yang membutuhkan, atau minimal, untuk pegangan keluarga yang ditinggalkan?
Sedih. Sedih yang berlipat karena ditambah dengan lelah memikirkan hal-hal tidak masuk akal yang disetujui sebagai kebenaran.
Oh, masih ada lagi. Tiba-tiba suatu pagi Papa mendekatiku saat sedang memasak, karena mendapatkan pesan WA dari teman dekat Mama dulu.
Katanya, kalau belum 100 hari, barang-barang Mama jangan dibagi-bagikan dulu, nanti “ditagih’ ke semua orang yang menerima dan “minta dikembalikan”. Oh, ya ampun. Aku sudah tak bisa tambah sedih lagi ini.
Jawabku pagi itu, “Semalam malah aku mimpi Mama, Pa. Senyum-senyum.” Papa menyahut, “Aku malah gak mimpi. Ya sudah terserah keyakinanmu,” responsnya ringan saja.
Lagi-lagi ini soal keyakinan, yang ampun susahnya dihancurkan. Aku yakin, Mama bahkan sudah tidak memikirkan benda-benda itu.
Aku yakin Mama senang sekali kalau baju-baju dan benda-benda miliknya menjadi berkat bagi banyak orang, daripada hanya menjadi benda mati dilemari, tak diapa-apakan. Hanya jadi kenangan yang membuat duka makin berduka.
Sebenarnya ingin sekali marah, karena kejengkelan rasanya sudah memenuhi rongga dada. Hal-hal konyol yang mereka percayai itu sungguh menggelikan, tetapi dianggap penuh hikmat sebagai dosa jika tidak dilakukan.
Oh, ampun. Itu membuatku makin teguh untuk tidak mengharapkan apa-apa lagi dari dunia ini.
Kekuatan serta penghiburan yang sesungguhnya hanya dari DIA, Sang Maha Cinta
Sebenarnya tidak terhitung waktu untuk belajar sungguh-sungguh hidup bersandar hanya kepada-NYA.
Mudah sekali bilang begitu, tetapi praktiknya, tidak pernah mudah dan butuh waktu. Benar-benar butuh waktu dan perjuangan.
Rasanya tidak percaya Mama sudah tidak ada lagi di bumi ini. Tidak pernah menyangka juga 16 Februari 2022 adalah hari terakhir Mama di dunia.
Kemudian lagi-lagi, nyata-nyata diingatkan tentang hidup yang hanya sebentar. Beruntung bisa sampai 70 tahun. Perpanjangan yang cukup untuk untuk mengingat tujuan hidup di dunia ini.
Mama dipanggil pulang diusia 67 tahun, tetapi belum cukup rasanya bersamanya. Beruntungnya, ada harapan untuk bertemu lagi dengan beliau di kekekalan. Betapa bahagianya saat itu, karena sekarang saja aku sudah sangat merindukannya.
Baru Mama yang dipanggil pulang, sebentar lagi mungkin Papa, mungkin aku sendiri atau entah siapa. Panjangnya usia tak ada yang tahu.
Segala sesuatu jadi makin membosankan dan melelahkan setelah kepergian Mama. Mengingat beberapa waktu, saat mama beberapa kali harus opname. Lalu ternyata, tubuh hanya menunda kalah dengan obat-obatan dan perawatan itu.
Selengkap dan semahal apapun obat, jika waktunya pulang, tubuh tak lagi punya daya. Lalu sebagai manusia biasa, rasanya lelah sekali dan aku berpikir betapa sia-sianya opname demi opname kemarin itu. Toh Mama tetap berpulang.
Melihat posisi Mama pagi itu, aku sekarang benar-benar yakin maut datang seperti pencuri. Jadi, bersiap mulai sekarang, percayalah, tidak berlebihan.
Malu. Malu sebenarnya bolak-balik masih tiba-tiba menangis. Tapi, ini rasanya benar-benar seperti patah hati yang hanya akan sembuh setelah pertemuan.
Kemudian nanti, jika tiba saatnya Papa pun berpulang, akan sesepi rumah kami. Membayangkan saja rasanya sudah miris dan sedih.
Sekarang saja, rumah itu rasanya sudah terlalu besar untuk kami berempat.
Betapa menyenangkannya nanti pertemuan di Langit Baru Bumi Baru. Harapan itu yang kupegang dan menjadi semacam penghiburan.
Kesempatan untuk kembali bersama di kekekalan, hidup bersama DIA dan orang-orang tersayang. Semoga.
Mama, yang tenang di Hades ya, Ma. Sampai ketemu lagi. 🙂
Terima kasih untuk siapa saja yang sudah memberi ucap kekuatan serta penghiburan. Tuhan memberkati.